Merasa Pintar
Kadang saya menyangka-nyangka bahwa orang-orang “pintar” ini muncul dari akibatnya kurang pengetahuan. Kenapa? Karena, jika orang-orang berpendidikan dan tau lebih kurangnya tentang bisnis yang melakukan “kepintaran-kepintaran” itu, maka saya tidak perlu lagi ragu-ragu mengatakan bahwa mereka itu memang bodoh mutlak.
Mungkin awal paragraf dari tulisan ini sedikit konroversi ya? Baca selanjutnya agar lebih paham.
Saya mengatakan demikian sebab faktanya, ekonomi itu lesu juga disebabkan tingkah dan ulah dari pedagang dan pebisnis yang “pintar-pintar” ini. Manuver jitu yang mereka agung-agungkan itu mereka lakukan dengan cara yang sangat sederhana dan apik: “Jatuhkan Harga, ambil Konsumen sebanyak mungkin, kejar perputaran barang yang cepat, fokus pada omzet yang banyak“.
Pintar? Disini saya akan ulas tentang “kepintaran” yang bersangatan ini. Setidaknya ini adalah semacam pandangan atau opini dari saya, kenapa ekonomi itu bisa hancur seketika disuatu tempat. Padahal sebelumnya, peluang dan kemakmurannya sangat besar dan bagus. (Ini hanyalah salah satu faktornya ya)
Kita mulai dari contoh:
Disebuah area (sebut saja dengan area A) memiliki peluang bisnis yang bagus dari bentuk apapun usahanya. Mulai dari jualan minuman, barang kebutuhan sehari-hari, pangan, dan lain-lainnya. Pedagang dan pengusaha bahkan bisa mengambil keuntungan hingga 20 – 50% dari penjualannya.
Karena peluangnya bagus, perputaran uang bagus dengan profit yang bagus juga tentunya, pasti akan memberikan beberapa perubahan di area tersebut, khususnya para pengusaha. Bisa jadi yang belum punya mobil, jadi beli mobil. Yang awalnya toko jelek, lalu dipermak jadi bagus dan yang punya toko satu tiba-tiba bisa buka cabang baru ditempat lain.
Melihat keadaan seperti itu, maka area tersebut menjadi incaran para pendatang baru yang “pintar-pintar” ini. Karena orang-orang “pintar” ini lahir dari banyaknya modal dan besarnya keyakinan (tapi minim ilmu). Jika terdapat ruang kosong, maka mereka tidak akan ragu-ragu untuk menyelip diarea A tersebut untuk bersaing dengan pedagang dan pengusaha lainnya yang telah lama berjibaku disana.
Secara logika bodoh kita berfikir, bahwa peluang untuk menang ataupun impas bagi pendatang baru ini pasti akan sangat kecil jika mereka mengikuti pasarannya.
Tapi… disinilah “kepintaran” mereka mulai diterapkan. Untuk bersaing, mereka akan menjatuhkan harga secara permanen (bukan promo atau semacamnya). Kalau bisa mereka akan menjatuhnya hingga paling mentok dimana orang lain tidak bisa menjualnya dibawah harga yang dia tawarkan.
Misalnya: Harga lakban 1 Pak adalah Rp. 50.000,- dengan modal Rp.40.000,-. Maka mereka akan menjualnya dengan harga Rp.42.000,- bahkan Rp.41.000,-. Sehingga sudah pasti para konsumen akan berbondong-bondong untuk membeli harga yang sangat murah dari harga sebelumnya yang pernah mereka tau atau beli.
Sejak saat itu harga lakban sudah bisa kita katakan jatuh. Perbandingannya dari harga sebelumnya adalah: Dulu cukup terjual 1 pak aja, dapat laba Rp.10.000,- dan setelah orang-orang “pintar” datang, maka untuk memperoleh laba yang sama harus menjual 5 pak lakban. Super sekali bukan?
Itu lakban, baru satu macam barang. Bagaimana dengan barang lainnya? Ya… lebih kurang samalah. Bahkan mereka kadang hanya ambil profit 5 – 10% saja. Lalu apa yang mereka dapat dengan begitu? Usahanya auto-rame dong ya. Karena harga-harga yang ia tawarkan sangat lebih murah dari pesaingnya yang merupakan pengusaha lama diarea A tersebut.
Ekonomi jatuhnya dimana? Ok, karena harga jatuh dan para konsumen berpindah langganan ke toko pendatang baru. Maka pedagang lama akan kehilangan banyak konsumen. Untuk itu, mau tidak mau pedagang lama juga harus mengikuti harga pedagang baru untuk menjaga konsumennya. Alhasil? Semua harga di area A sudah kacau dan jatuh ke titik profit (laba) terendah.
Orang-orang “pintar” seperti mereka itu sekarang banyak. Banyak sekali tak terhitung bahkan hampir disetiap tempat pasti ada. Katanya sih mereka “pintar” tapi sebenarnya bodoh. Mereka itu hanya ada modal, tapi tidak ada ilmu. Mereka hanya menggunakan insting hewani saja untuk menarik konsumen-konsumen yang ada, untuk menyaingi pesaingnya. Karena mereka tau, bahwa mereka akan kalah, jika bersaing secara sehat.
Akhir tulisan ini saya nak tanya:
Ah.. sudahlah… mereka tidak akan pernah sampai kesini untuk membaca ini. Karena kita tau… Mereka itu pintar.